Nama : Putri Meysi Dwiyana
Nim
: 170321100024
Kelas : HEB A
Kasus I
Pada
kasus ini merupakan kasus tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam
Bisnis (HAKI) yang berada pada PT Delta Tekstil (DMDT) Karangayar, Jau Tau Kwan
yang dipersalahkan karena memproduksi kain rayon grey bergaris kuning yang
telah dipatenkan PT Sritex Sukoharjo. Oleh karena itu Jau Tau Kwan dituntut
karena telah melanggar pasal 72 ayat (1)
UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta juncto pasal 55 KUHP dan atau pasal 56
KUHP. Berikut bunyi pasalnya:
Pasal
55
Penyerahan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
a) meniadakan
nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu;
b) mencantumkan
nama Pencipta pada Ciptaannya;
c) mengganti
atau mengubah judul Ciptaan; atau
d) mengubah
isi Ciptaan.
Pasal
56
1. Pemegang
Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan
atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
2. Pemegang
Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan
penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari
penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang
merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
3. Sebelum
menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada
pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk
menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang
merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Pasal 72
1. Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing- masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Barangsiapa
dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Kasus III
Pada kasus tiga yaitu terkait dengan
hukum perlindungan konsumen dimana pada iklan yang dipampang di media online
detik dan kompas mobil Nissan March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak
bensin 21,8 km. Namun Milla menemukan kenyataan bahwa setelah pemakaian selama
sebulan butuh satu liter bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2
km. Sehingga kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Jakarta. Pada kasus 3 dapat membutikan bahwa pada ketentuan umum UU soal
konsumen, yang menyangkut tentang promosi, disebutkan bahwa promosi adalah suatu
kegiatan yang mengenalkan atau menyebarluaskan informasi suatu produk / jasa
untuk menarik minat pembeli (konsumen) terhadap suatu produk / jasa yang akan
dan sedang diperdagangkan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UUPK menjelaskan
mengenai hal-hal yang dilarang bagi oleh pelaku usaha:
“(1)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
1. Barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
2. Barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3. Barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
4. Barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
5. Barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. Barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7. Barang
tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8. Barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. Secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
10. Menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
11. Menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.”
Berdasarkan
Putusan BPSK yang merujuk pada Pasal 9 ayat (1) huruf k, terkait representasi
pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar atas barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan. Jika dikaitkan dengan kasus konsumen Ludmilla Arif dengan
PT. NMI, penerapan pasal ini dalam putusan BPSK sudah tepat karena dapat
menjerat pelaku usaha dengan unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut.
Sama halnya dengan Pasal 10 UUPK, yang menjelaskan bahwa:
“Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai:
1. Harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
2. Kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
3. Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
4. Tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5. Bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa.”
Kasus V
Pada kasus kelima merupakan kasus mengenai kepailitan, yaitu kepailitan
Produsen PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi A.E.A) dan anak
usahanya PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub). Majelis hakim pengadilan niaga Jakarta Pusat menyatakan
kepailitan PT Sariwangi Agricultural Estates Agency (Sariwangi A.E.A) bersama
dengan PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub) dalam keadaan
insolvensi (tidak mampu membayar). Menurut catatan Bank ICBC, PT Sariwangi AEA memiliki hutang plus bunga Rp
288,9 miliar. Namun di luar hutang terhadap Bank ICBC, PT Sariwangi AEA juga
memiliki utang lain kepada beberapa pihak yang totalnya mencapai Rp 1,05
triliun.Total utang Rp 1,05 triliun itu terdiri dari pinjaman dari lima
kreditur separatis (dengan jaminan) sebesar Rp 719,03 miliar, 59 kreditur konkuren
(tanpa jaminan) Rp 334,18 miliar, dan kreditur preferen (prioritas) Rp 1,21
miliar. Karena PT Sariwangi AEA tidak dapat membayar seluruh hutangnya, maka
Hakim pengadilan niaga Jakarta Pusat menyatakan PT Sariwangi AEA bersama dengan
anak usahanya yaitu PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung pailit.
Tidak jelas alasan mengapa perusahaan pelopor teh celup di Indonesia itu tidak
membayar
utangnya. Tetapi pada tahun 2015 lalu, sebenarnya PT Sariwangi AEA
pernah digugat pailit oleh
beberapa kreditur (pemberi utang) di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Namun PT Sariwangi
AEA sebagai debitur (pihak yang diberi utang) berdamai (homologasi)
dengan para kreditur salah satunya Bank ICBC- melalui putusan penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU)
oke
BalasHapus